Kisah Patih Ulung.

Pada tahun 1322 M, di sebuah kerajaan yang terletak di ujung timur pulau Jawa, seorang pemuda bernama Patih Ulung diberi tugas yang sangat besar oleh Raja Kalagemet, atau lebih dikenal dengan nama Jayanegara. Usulan ini datang langsung dari Maha Patih Gajah Mada, seorang tokoh besar dalam sejarah Majapahit yang dikenal dengan cita-cita besar untuk mempersatukan seluruh nusantara. Patih Ulung, yang pada saat itu masih muda dan penuh semangat, diminta untuk mendampingi Raja Bali yang memerintah, sebagai Patih yang akan membantu menjalankan roda pemerintahan di Bali.

Patih Ulung bukanlah orang sembarangan. Dia adalah putra dari Mpu Dwijaksara, seorang Brahmana yang sangat dihormati di Bali. Mpu Dwijaksara diangkat sebagai Bhagawanta Raja, yang bertugas menuntun raja Bali dengan kebijaksanaan dan pengalamannya. Bersama ayahnya, Patih Ulung menjalankan tugasnya di Bali, mengawasi pemerintahan, dan mengatur kesejahteraan rakyat di bawah bimbingan Raja yang memerintah.

Tahun demi tahun berlalu, dan pada tahun 1335, pada Senin Umanis uku Sungsang sasih Karo, sebuah hari yang penuh makna, Patih Ulung mendapat sebuah anugerah luar biasa. Dia diangkat menjadi Patih Amangkubumi dengan Abhiseka Ki Patih Ulung. Sebuah gelar yang semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai salah satu pejabat penting di Bali. Sebagai Patih Amangkubumi, Patih Ulung menjadi penguasa yang mengatur segala hal terkait pemerintahan dan keamanan di Bali, dan peranannya sangat penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial yang terkadang tidak mudah di tengah dinamika yang ada.

Pada tahun 1343 hingga 1352, Patih Ulung dianugerahi oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai Adipati, atau Raja, di Bali dengan gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel. Gelar ini tidak hanya menandakan tingginya kedudukan politik Patih Ulung, tetapi juga menegaskan bahwa ia merupakan salah satu tokoh utama yang membawa pengaruh besar dalam sejarah Bali dan Majapahit. Sebagai Adipati, Patih Ulung memiliki tanggung jawab yang sangat berat, bukan hanya dalam menjaga keharmonisan pemerintahan, tetapi juga dalam merawat hubungan antara Bali dan Majapahit yang semakin erat.

Namun, pada tahun 1352, Patih Ulung kembali mengemban tugas sebagai Patih Amangkubumi, kali ini di bawah pemerintahan Raja Sri Krena Kepakisan. Ia kembali dipercaya dengan gelar Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, dan bersama dengan Kriyan Nyuh Aya, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi. Bersama-sama, mereka menuntun Bali melewati masa-masa transisi dan tantangan besar.

Namun, roda politik sering kali berputar dengan cara yang tidak terduga. Pada tahun 1358, terjadilah perpecahan di kalangan pejabat tinggi Bali. Para Arya dari Majapahit, terutama mereka yang berasal dari keturunan Kediri seperti Kriyan Nyuh Aya, mulai menuntut jabatan Patih Amangkubumi. Mereka menginginkan posisi tersebut untuk diri mereka sendiri. Dalam situasi yang penuh intrik politik ini, Patih Ulung merasa bahwa posisi dan kekuasaannya terancam. Tidak ingin terlibat lebih jauh dalam perpecahan yang semakin tajam, Patih Ulung memutuskan untuk mundur dengan terhormat dari jabatannya sebagai Patih Amangkubumi.

Sebagai seorang bijaksana, Patih Ulung memilih jalan yang lebih damai, yaitu mengundurkan diri dan memilih untuk menjadi Bendesa di Desa Mas, sebuah tempat yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan. Di sana, ia tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga seorang pemimpin yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dengan cara yang sederhana, jauh dari hiruk pikuk politik yang kerap memanas.

Patih Ulung adalah seorang tokoh yang sangat berperan dalam masa transisi pemerintahan di Bali, yang penuh dengan gejolak politik. Dari seorang Brahmana muda bernama Mpu Jiwaksara yang merupakan putra dari Mpu Dwijaksara, dia berhasil mencapai puncak kekuasaan, namun tetap memilih jalan yang bijaksana saat situasi memaksanya untuk memilih mundur. Kisah hidupnya menjadi cerminan dari kebijaksanaan, pengorbanan, dan kemampuan untuk tetap tegar menghadapi perubahan zaman yang terus bergulir.

Di Bali, nama Patih Ulung selalu dikenang sebagai sosok yang tidak hanya berani mengambil keputusan penting dalam masa-masa sulit, tetapi juga sebagai pemimpin yang penuh kasih dan perhatian terhadap rakyatnya. Mpu Dwijaksara, ayahnya yang juga seorang tokoh penting, pasti merasa bangga akan perjalanan hidup anaknya yang begitu penuh makna, tak hanya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai seorang bijaksana yang memilih untuk menyelamatkan kedamaian di tanah Bali.

Komentar

Postingan Populer